Kamis, 09 Januari 2014

REkruitmen pejabat publik



Rekruitmen Pejabat Publik di Indonesia
“Penyimpagan dan Peran PAR-POL dalam Rekruitmen Pejabat Publik”

Oleh :
Nurma Marcia Luthfiana
13031083


Ilmu Administrasi Negara
Universitas Bhayangkara Surabaya
2013
KATA PENGANTAR

        Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Alhamdulillahirabbilalamin.
Segala puji bagi Allah yang telah menolong kami menyelesaikan makalah ini dengan penuh kemudahan. Tanpa pertolongan NYA mungkin penyusun tidak akan sanggup menyelesaikan dengan baik. Shalawat dan salam semoga terlimpah curahkan kepada baginda tercinta yakni Nabi Muhammad SAW.

      Makalah ini disusun agar pembaca dapat memperluas
wawasan tentang  “Penyimpagan dan Peran PAR-POL dalam Rekruitmen Pejabat Publik , yang kami sajikan berdasarkan pengamatan dari berbagai sumber. Makalah ini di susun oleh penyusun dengan berbagai rintangan. Baik itu yang datang dari diri penyusun maupun yang datang dari luar. Namun  dengan  penuh  kesabaran dan terutama  pertolongan dari Tuhan akhirnya makalah ini dapat terselesaikan.

       Makalah ini memuat tentang “
Penyimpagan dan Peran PAR-POL dalam Rekruitmen Pejabat Publik” yang berdampak bagi dunia politik di Indonesia . Walaupun makalah ini mungkin kurang sempurna tapi  juga memiliki detail yang cukup jelas bagi pembaca.

        Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas kepada pembaca. Walaupun  makalah ini memiliki kelebihan dan kekurangan. Penyusun mohon  untuk saran  dan kritiknya. Terima kasih.

Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.




S
urabaya, 12 Nopember  2013


Penulis



DAFTAR ISI
Sampul ............................................................................................................................1
Kata Pengantar...............................................................................................................2
Daftar Isi..........................................................................................................................3
BAB I .
Pendahuluan
1.1  Latar Belakang.....................................................................................................4
1.2  Rumusan Masalah................................................................................................5
1.3  Tujuan Pembuatan Makalah................................................................................5

BAB II
Kerangka Teori.
2.1 Landasan Teori
2.1.1 Pejabat Publik..................................................................................................6
2.1.2 Rekruitmen Pejabat Publik..............................................................................8
2.1.3 Partai Politik....................................................................................................8

BAB III
Pembahasan.
3.1.Bentuk rekruitmen pejabat publik di Indonesia.......................................................10
3.2.Cara mendapatkan peran pejabat publik.......................................................12
3.3.Penyimpangan Rekruitmen Pejabat Publik ...................................................17
3.4 Peran partai politi dalam rekruitmen pejabat publik......................................21

BAB IV
Penutup
4.1 Kesimpulan........................................................................................................................22
4.2 Saran-saran.........................................................................................................................23

Daftar Pustaka .....................................................................................................,,,,.........24


BAB I
PENDAHULUAN
1.1             Latar belakang
Demokrasi itu  memperbolehkan siapa saja untuk ikut dalam kontestasi pemilihan jabatan publik . Tetapi ada banyak penyimpangan yang terjadi di dalam rekruitmen pejabat publik di Indonesia. Dinasti pejabat publik tidak hanya ada di Indonesia. Di India ada dinasti Gandhi, di Amerika Serikat ada Kennedy, juga di Korea Utara melalui keluarga Kim, meskipun di luar kaidah demokrasi. Artinya, dalam sistem demokrasi siapa pun berhak memilih dan dipilih menjadi pejabat politik. Dalam ukuran ini, dinasti politik sah-sah saja.
Namun, demokrasi juga memiliki norma, etika atau fatsun politik. Kekuatiran utama dalam dinasti politik adalah terjadinya persekongkolan untuk merebut dan menguasai akses anggaran publik. Dan inilah yang diduga terjadi dalam dinasti Atut di Banten. Selain itu, figur yang ditampilkan belum tentu memiliki kapabilitas dalam memimpin. Dia bisa terpilih lebih karena adanya faktor koneksitas dengan penguasa. Jika ini terjadi, bisa dipastikan yang ada hanyalah oligarki politik: penguasaan akses publik oleh sekelompok orang demi kepentingan kelompoknya itu. Dalam ukuran ini, maka demokrasi harus melawannya.
Membangun demokratisasi di Indonesia merupakan pekerjaan jangka panjang. Selepas dari otoritarian Soeharto, kita tidak bisa serta merta mendambakan sistem politik-ekonomi yang  mapan seketika. Butuh waktu panjang untuk membangun demokratisasi ala Indonesia sesuai konstitusi kita. Dan salah satu pihak yang memiliki kewajiban penuh untuk membangun demokratisasi ini adalah partai politik (parpol).





1.2  Rumusan Masalah
       Berdasarkan uraian latar belakang di atas, dapat penulis rumuskan permasalahan yaitu :
1.      Bagaimana bentuk rekruitmen pejabat publik di Indonesia ?.
2.      Bagaimana cara untuk mendapatkan suatu peran pejabat publik ?.
3.      Bagaimana penyimpangan di dalam rekruitmen pejabat publik?.
4.      Bagaimana peran partai politik dalam perekrutan pejabat publik?.

1.3               Tujuan
2.      Mengetahui bentuk rekruitmen pejabat publik di Indonesia.
3.      Mengetahui cara untuk mendapatkan suatu peran pejabat publik.
4.      Mengetahui penyimpangan politik yang ada.
5.      Mengetahui peran partai politik dalam perekrutan pejabat publik.




















BAB II
KERANGKA TEORI

2.1 Landasan Teori

2.1.1 Pejabat Publik
Istilah “Pejabat Publik” terdiri dari dua suku kata, yaitu “Pejabat” dan “Publik”. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBIH) memberi pengertian “Pejabat” dengan: pegawai pemerintah yang memegang jabatan penting (unsur pimpinan) . Sementara, istilah ‘Publik: diartikan dengan: orang banyak (umum) . Dari pengertian ini, dapat dipahami bahwa “Pejabat Publik” adalah pegawai pemerintah yang memegang jabatan penting sebagai pimpinan yang mengurusi kepentingan orang banyak. Dengan defenisi yang demikian, seseorang dapat dikatakan sebagai “Pejabat Publik” apabila memenuhi 3 (tiga) syarat, yaitu: (i) bahwa dia adalah pegawai pemerintah; (ii) menjabat sebagai pimpinan; dan (iii) bahwa tugasnya adalah mengurusi kepentingan orang banyak.
Dalam kaitannya dengan hukum tata negara dan hukum administrasi negara, istilah ”Pejabat Publik” memiliki makna yang similar (sama) dengan istilah ”Pejabat Tata Usaha Negara”. Oleh karenanya, perlu dikemukakan pendapat Hans Kelsen sebagaimana dikemukakan oleh Jimly Asshiddiqie , bahwa setiap jabatan yang menjalankan fungsi-fungsi ‘law creating function and law applying function’ adalah pejabat tata usaha negara. Artinya, bahwa setiap jabatan yang melaksanakan fungsi-fungsi pembuatan dan pelaksanaan norma hukum negara dapat disebut sebagai pejabat tata usaha negara atau pejabat publik.
Pandangan Hans Kelsen tersebut juga mensyaratkan 3 (tiga) hal, yaitu : (i) adanya jabatan; (ii) adanya fungsi pembentukan norma hukum negara yang melekat pada jabatan tersebut; dan (ii) selain fungsi pembuatan norma hukum negara, juga melekat fungsi pelaksanaan norma hukum negara pada jabatan tersebut. Pengertian jabatan disini barangkali dapat dirujuk sebagaimana dikemukakan di atas.



Dalam menggali pengertian yang lebih mendalam tentang ”Pejabat Publik”, dalam hal ini Pejabat Tata Usaha Negara”, perlu dikemukakan bagaimana Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 juncto Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 (UU No. 5/1986 jo UU No. 9/2004) tentang Peradilan Tata Usaha Negara dan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 (UU No. 8/2008) tentang Keterbukaan Informasi Publik.
UU No. 5/1986 jo UU No. 9/2004, pada Pasal 1 angka 2 menyatakan : Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah Badan atau Pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Badan yang dimaksudkan disini adalah institusi atau organ, sementara pejabat adalah orang perorangan yang menduduki jabatan tertentu. Jika dicermati bunyi ketentuan tersebut, bahwa Pejabat Tata usaha Negara itu bukan hanya pegawai pemerintah saja, akan tetapi siapapun, institusi atau orang perorang, yang menjalankan tugas-tugas pemerintahan atas amanat dari peraturan perundang-undangan, dapat disebut sebagai Pejabat Tata Usaha Negara.
UU No. 8/2008 memberi peristilahan yang lebih tegas dan jelas, hal ini sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 angka 8 : Pejabat Publik adalah orang yang ditunjuk dan diberi tugas untuk menduduki posisi atau jabatan tertentu pada badan publik. Sementara, yang dimaksud badan publik sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang yang sama : Badan Publik adalah lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif dan badan lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara, yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, atau organisasi nonpemerintah yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, sumbangan masyarakat, dan/atau luar negeri.
Dari berbagai pandangan yang dipaparkan mengenai pengertian ”Pejabat Publik”, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksudkan dengan ”Pejabat Publik” adalah orang yang menduduki jabatan pada organ pemerintahan atau nonpemerintahan, yang tugas dan fungsi pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara, dimana untuk menjalankan tugas dan fungsi tersebut digunakan dana yang bersumber dari keuangan negara (APBN dan/atau APBD), apakah sebagian atau seluruhnya.


2.1.2        Rekruitmen Pejabat Publik
Cheng Prudjung(chengxplore.blogspot.com), rekruitmen politik adalah suatu proses seleksi anggota-aggota kelompok untuk mewakili kelompoknya dalam jabatan administratif maupun politik. Dalam pengertian lain, rekrutmen politik merupakan fungsi penyelekksian rakyat untuk kegiatan politik dan jabatan pemerintahan melalui penampilan dalam media komunikasi, menjadi anggota organisasi, mencalonkan diri untuk jabatan tertentu dan sebagainya.
Setiap sistem politik memiliki sistem atau prosedur rekrutmen yang berbeda. Anggota kelompok yang direkrut adalah yang memiliki suatu kemampuan atau bakat yang sangat dibutuhkan untuk suatu jabatan politik. Setiap partai juga memiliki pola rekrutmen yang berbeda. Pada referensi yang lain, kita bisa menemukan definisi atau pengertia rekrutmen politik yang lebih memperhatikan sudut pandang fungsionalnya, yaitu “The process by which citizens are selected for involvement in politics”. Pengertian tersebut di atas menjelaskan bahwa rekrutmen politik adalah proses yang melibatkan warga negara dalam politik.

2.2.3 Partai politik

Sebuah partai politik adalah organisasi politik yang menjalani ideologi tertentu atau dibentuk dengan tujuan khusus. Definisi lainnya adalah kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini ialah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik - (biasanya) dengan cara konstitusionil - untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan mereka. [1][2]
Partai politik adalah sarana politik yang menjembatani elit-elit politik dalam upaya mencapai kekuasaan politik dalam suatu negara yang bercirikan mandiri dalam hal finansial, memiliki platform atau haluan politik tersendiri, mengusung kepentingan-kepentingan kelompok dalam urusan politik, dan turut menyumbang political development sebagai suprastruktur politik.
Dalam rangka memahami partai politik sebagai salah satu komponen infrastruktur politik dalam negara, berikut beberapa pengertian mengenai partai politik, yakni:
  1. Carl J. Friedrich: partai Politik adalah sekelompok manusia yang terorganisir secara stabil dengan tujuan merebut atau mempertahankan penguasan pemerintah bagi pemimpin partainya, dan berdasarkan penguasan ini memberikan kepada anggota partainya kemanfaatan yang bersifat ideal maupun materil.
  2. R.H. Soltou: partai Politik adalah sekelompok warga negara yang sedikit banyaknya terorganisir, yang bertindak sebagai satu kesatuan politik, yang dengan memanfaatkan kekuasan memilih, bertujuan menguasai pemerintah dan melaksanakan kebijakan umum mereka.
  3. Sigmund Neumann: partai politik adalah organisasi dari aktivis-aktivis Politik yang berusaha untuk menguasai kekuasan pemerintah serta merebut dukungan rakyat atas dasar persaingan melawan golongan-golongan lain yang tidak sepaham.
  4. Miriam Budiardjo: partai politik adalah suatu kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang sama dengan tujuan memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik (biasanya), dengan cara konstitusional guna melaksanakan kebijakan-kebijakan mereka.

















BAB III
PEMBAHASAN


3.1  Bentuk rekruitmen pejabat publik di Indonesia
Di Indonesia, perekrutan politik berlangsung melalui pemilu setelah setiap calon peserta yang diusulkan oleh partainya diseleksi secara ketat oleh suatu badan resmi. Seleksi ini dimulai dari seleksi administrative, penelitian khusus yanitu menyangkut kesetiaaan pada ideology Negara.
Adapun bahwa beberapa pilihan partai politik dalam proses rekrutmen politik adalah sebagai berikut;
  1. Partisan, yaitu merupakan pendukung yang kuat, loyalitas tinggi terhadap partai sehingga bisa direkrut untuk menduduki jabatan strategis. 
  2. Compartmentalization, merupakan proses rekrutmen yang didasarkan pada latar belakang pendidikan dan pengalaman organisasi atau kegiatan sosial politik seseorang, misalnya aktivis LSM. 
  3. Immediate survival, yaitu proses rekrutmen yang dilakukan oleh otoritas pemimpin partai tanpa memperhatikan kemampuan orang-orang yang akan direkrut. 
  4. Civil service reform, merupakan proses rekrutmen berdasarkan kemampuan dan loyalitas seorang calon sehingga bisa mendapatkan kedudukan lebih penting atau lebih tinggi. 
Ada beberapa hal menurut Czudnowski, yang dapat menentukan terpilihnya seseorang dalam lembaga legislatif, sebagaimana berikut;
  1. Social background : Faktor ini berhubungan dengan pengaruh status sosial dan ekonomi keluarga, dimana seorang calon elit dibesarkan. 
  2. Political socialization : Merupakan suatu proses yang menyebabkan seorang menjadi terbiasa dengan tugas-tugas yang harus diilaksanakan oleh suatu kedudukan politik. 
  3. Initial political activity : Faktor ini menunjuk kepada aktivitas atau pengalaman politik calon elit selama ini. 
  4. Apprenticeship : Faktor ini menunjuk langsung kepada proses “magang” dari calon elit ke elit yang lain yang sedang menduduki jabatan yang diincar oleh calon elit. 
  5. Occupational variables : Calon elit dilihat pengalaman kerjanyadalam lembaga formal yang bisa saja tidak berhubungan dengan politik, kapasitas intelektual dalam kualitas kerjanya. 
  6. Motivations : Orang akan termotivasi untuk aktif dalam kegiatan politik karena dua hal yaitu harapan dan orientasi mereka terhadap isu-isu politik. Selection : Faktor ini menunjukkan pada mekanisme politik yaitu rekrutmen terbukan dan rekrutmen tertutup.
















3.2 Cara mendapatkan peran pejabat publik

A. Prosedur yang berlaku untuk mendapatkan suatu peran politik
Didalam proses rekruitmen politik kita akan mengenal beberapa prosedur-prosedur yang berlaku untuk mendapatkan suatu peran politik berupa:
1.      Pemilihan umum
Seluruh masyarakat Indonesia setiap 5 tahun sekali melaksanakan pemilihan umum yaitu kegiatan rakyat dalam memilih orang atau sekelompok orang untuk menjadi pemimpin bagi rakyatnya,pemimpin Negara,atau pemimpin didalam pemerintahan dan merupakan mekanisme politik untuk mengartikulasikan aspirasi dan kepentingan warga Negara dalam proses memilih sebgaian rakyatnya menjadi pemimpin didalam pemerintahan.
2.      Ujian
3.      Training formal
4.      Sistem giliran
Sedangkan menurut teori Almond dan Powell prosedur prosedur rekruitmen politik terbagi dalam dua bagian yaitu:
1.        Prosedur tertutup:artinya rekruitmen dilakukan oleh elit partai yang memiliki kekuasaan untuk memilih siapa saja calon-calon yang dianggap layak diberikan jabatan berdasarkan skill dan kapasitas yang dimilikinya untuk memimpin.Sehingga prosedur ini dianggap prosedur tertutup karna hanya ditentukan oleh segelintir orang
2.        Prosedur terbuka:artinya setiap masyarakat berhak untuk memilih siapa saja yang bakal menjadi calon pemimpin didalam negaranya serta pengumuman hasil pemenang dari kompetisi tersebut dilaksankan secara terbuka,  dan terang-terangan.










B. Menggunakan Jalur Politik
 Didalam rekruitmen pejabat publik juga dikenal istilah jalur-jalur politik yang perlu kita ketahui secara luas kajian-kajianya antara lain :
1.        Jalur koalisi partai atau pimpinan-pimpinan partai artinya koalisi-koalisi partai merupakan bagian terpenting didalam rekruitmen politik karena sebagian besar kesepakatan dan pengangkatan politik di adopsi dari hasil koalisi-kolisi antar partai yang berperan dalam suatu lingkup politik.Artinya rekruitmen politik tidak terlepas dari peranan koalisi partai.
2.        Jalur rekruitmen berdasarkan kemempuan-kemampuan dari kelompok atau individu artinya jalur ini menjadi kriteria dasar dalam perekrutan seseorang karena dinilai dari berbagai segi yaitu kriteria-kritreia tertentu,distribusi-distribusi kekuasaan,bakat-bakat yang terdapat didalam masyarakat,langsung tidak langsung menguntungkan partai politik. Semua factor-faktor tersebut perlu kita kaji dan fahami karena tidak mudah untuk menjadi seorang pemimpin. Kita harus mempunyai skill, kecakapan, keahlian untuk terjun ke dalam dunia politik. Karena dunia politik merupakan dunia yang keras penuh persaingan taktik dan teknik. Bukan sembarang orang mampu direkrut untuk masuk kedalam dunia politik.Orang-orang tersebut terpilih karena memang memenuhi kriteria-kriteria tertentu yang dianggap mampu menguntungkan negara maupun memberi keuntungan parta-partai tertentu.
3.        Jalur rekruitmen berdasarkan kaderisasi artinya setiap kelompok-kelompok partai harus menyeleksi dan mempersiapkan anggota-anggotanya yang dianggap mampu dan cakap dalam mendapatkan jabatan-jabatan politik yang lebih tinggi jenjangya serta mampu membawa/memobilisasi partai-partai politiknya sehingga memberi pengaruh besar dikalangan masyarakat.Hal ini menjadi salah satu tujuan dari terbentuknya suatu partai politik yang perlu kita ketahui.Seperti yang terangkum didalam teori Almond dan G.Bigham powell menjelaskan “rekruitmen politik tergantung pula terhadap proses penseleksian didalam partai politik itu sendiri”.Jadi kesimpulanya setiap individu harus mempunyai skill yang mampu diperjualbelikan sehingga mampu menempati jabatan-jabatan penting suatu negara.
4.        Jalur rekruitmen politik berdasarkan ikatan promodial. Dizaman modern ini jalur rekruitmen promodial tidak menutup kemungkinan terjadi didunia politik.Fenomenal itu terjadi karena adanya hubungan kekerabatan yang dekat antara orang perorangan yang memiliki jabatan politik sehingga ia mampu memindahtangankan atau memberi jabatn tersebut kepada kerabat terdekatnya yang dianggap mampu dan cakap dalam mengemban tugas kenegaraan.Fenomena ini dikenal dengan nama “rekruitmen politik berdasarkan ikatan promodial”. Contoh jalur rekruitmen politik berdasarkan ikatan promodial: seorang raja ketika wafat akan menyerahkan segala kekuasaanya kepada anak-anaknya,kekuasaan yang diberikan kepada keluarga besan,ketika perkawinan menantu lelaki yang diberi jabatan penting oleh mertuanya,karena memiliki persamaan marga atau suku seseorang mendapat jabatn dari sesame marga atau sukunya. Fenomenal ini sering terjadi dan dikenal pula dengan istilah “system politik monarki” namun kekuasaan ini perkembanganya hanya disekitar kalangan-kalangan keluarga dan tidak meluas ataupun merata pembagian kekuasaanya.Hanya kelompok minoritas atau orang-orang penting yang dapat memperoleh jabatan politik didalam suatu system monarki seperti ini namun penulis lebih menyukai dan cenderung pada system politik yang demokratis karena pembagian kekuasaan cenderung lebih merarta sesuai dengan pancasila sila ke-2 “kemanusiaan yang adil dan beradab”.

























C. Pembagian Jabatan Politik
Selanjutnya materi yang perlu kita kaji adalah pentingya mengetahui pembagian jabatan didalam politik yaitu:
1.      Jabatan politik artinya jabatan yang diperoleh sebagai dari hasil pemilihan rakyatnya atau yang ditunjuk langsung oleh pemerintah dan dikenal sebagai seorang “politikus”.Masa jabatanya hanya dua kali periode.
2.      Jabatan administratif artinya jabatan yang diperoleh secara manual melalui tahap-tahap pendidikan dan pelamaran kerja.Jabatan ini dianggap pasti dan mampu mampu menjamin hidup para “administrator” karena masa jabatanya berlangsung lama.Para administrator ini dikenal sebagai atribut negara karena menjadi indikator pelengkap dan pendukung dalam membantu tugas para politikus.
D. Perbedaan antara polikus dan administrator
1.    Adanya pandangan kabur antara politikus dan administrator didalam masyarakat. Hampir sebagian masyarakat menganggap bahwa politikus dan administrator mengemban tugas dan jabatan yang sama.Hal ini menjadi pandangan yang salah yang perlu dikaji secara lebih luas sehingga kami menerangkan pngertianya seperti yang terangkum diatas.Bahkan di sejumlah sistem-sistem politik didunia berusaha untuk memisahkan pengertian antara jabatan politik dan administratif dengan cara melembagakan doktrin “netralitas politik” bagi para administrator.
2.    Di Inggris ,pegawai-pegawai politik direkrut melalui badan politik yang netral.Sedangkan di Amerika Serikat partai yang berkuasa mengadakan perubahan personil secara ekstensif pada eselon yang lebih tinggi dari dinas sipil waktu memulai pemerintahan,meliputi perluasan pengawasan partai secara langsung terhadap jabatan administratif.Politikus dapat berganti-ganti setiap periode tetapi administrator tetap pada posisinya.
3.    Perbedaan pengertian antara jabatan administratif dan jabatan politik akan semakin kabur apabila kita memandang dari segi “periphery”(batas luar) menuju pusat sistem politik.Mengapa hal ini bias terjadi?karena segala kegiatan-kegiatan politk administrasinya dikelola para administrator maka keduanya saling berkesinambungan dan tidak dapat terlepas satu sama lain.





E. Sistem perekrutan pejabat publik terdiri dari beberapa cara yaitu:
1.    Seleksi pemilihan melalui ujian.
2.    Latihan(training) Kedua hal tersebut menjadi indicator utama didalm perekrutan politik.
3.    Penyortiran atau penarikan undian(cara tertua yang digunakan diyunani kuno).
4.    Rotasi memiliki tujuan mencegah terjadinya dominasi jabatan dari kelompok-kelompok yang berkuasa maka perlu adanya pergantian secara periode dalam jabatan-jabatan politik.
5.    Perebutan kekuasaan dengan menggunakan atau mengancam dengan kekerasan.Cara ini tidak patut dicontoh karena untuk menjadi seorang pemimpin tidaklah harus melakukan tindakan-tindakan tidak terpuji karena kita telah dididik dengan baik dan harus menerapkan teknik-teknik yang baik pula dalam berpolitik.
6.    Petronag artinya suatau jabatan dapat dibeli dengan mudah melalui relasi-relasi terdekat.Petronag masih memiliki keterkaitanya dengan budaya korupsi.
7.    Koopsi(pemilihan anggota-anggota baru)artinya memasukan orang-orang atau anggota baru untuk menciptakan pemikiran yang baru sehingga membawa suatu partai pada visi dan misi yang ditujunya.



















3.3 Penyimpangan Rekruitmen Pejabat Publik

Akhir-akhir ini kita dihebohkan oleh berita penggunaan gelar akademik (pendidikan tinggi) palsu mulai dari S0 sampai dengan S3 bahkan Profesor di kalangan elit politik (politisi), birokrat sipil, pejabat politik, kalangan militer, kepolisian, pemuka agama bahkan sampai pula pada para artis beken di negeri ini dari pusat sampai ke daerah. Pendek kata hampir kebanyakan lapisan dan level kehidupan seakan-akan terasa demam jika tidak mempunyai atau ada embel-embel gelar akademik tanpa mempertimbangkan legalitas, proses dan kualitasnya.
Kemudian hal ini berlanjut pada banyaknya pemilihan artis sebagai calon anggota dewan atau pimpinan daerah. Hal ini menjadi cerminan bagi kondisi politik di Indonesia. Jangan sampai, artis yang dikendarai oleh salah satu parpol hanya menunjukkan suatu popularitas tertentu tanpa memperhatikan aspek integritas, kualitas, maupun kredibilitasnya.
Perilaku kriminal (crime action) yang dipertontonkan para penyelenggara negara (di pusat maupun daerah) yang tetap berjaya hingga kini dan mereka menenggelamkan bangsa ini dari keberadaban suatu bangsa. Tentunya hal ini tidak terlepas dari sistem dan proses rekrutmen politik selama ini. Peraturan perundangan yang tidak mendukung terjadinya pemerintahan yang bersih, sudah pasti akan menghasilkan para aktor publik (penyelenggara negara) yang buruk dan kriminal.
Misalnya sistim Pemilu sejak pemilu tahun 1999 hingga pemilu tahun 2009 yang lalu, telah menghasilkan wakil rakyat yang tidak bertanggung-jawab atau tidak mempedulikan rakyat (konstituennya), karena mereka lebih mengutamakan dan mengabdi kepada DPP (partainya). Praktek demikian sangat mudah dijumpai pada pelbagai proses politik, baik ketika DPRD mengesahkan APBD, menerima LPJ kepala daerah, memilih Gubernur/Bupati/Walikota maupun ketika DPR mengesahkan UU. Mereka berperilaku seperti ini, karena:
1) pada saat sistem pemilu proporsional tertutup, rakyat tidak memilih orang, tetapi hanya memilih tanda gambar partai;
2) celakanya ketika rakyat sudah memilih orang kejadian ini masih berlanjut, karena UU-nya memang tidak mengatur dan menyatakan secara tegas tentang  pertanggung-jawaban DPR atau Kepala Daerah itu kepada rakyat. DPR/DRPD mempertanggung-jawabkan tugas-tugasnya melalui mekanisme internal lembaganya sendiri, sementara Kepala Daerah mempertanggungjawabkan tugasnya (kebijakannya) kepada pemerintah pusat.
Proses rekrutmen akan menjadi lebih demokratis dan terbuka, ketika ada perubahan Undang-Undang baik secara substansi maupun sistimnya kearah yang lebih baik. Sekarang ini proses rekrutmen pejabat publik (pemilihan kepala daerah) sudah  dilakukan dengan pemilihan langsung oleh rakyat, sehingga akan memperoleh pejabat publik yang lebih berkualitas, aspiratif dan representatif dibanding selama ini yang selalu menimbulkan konflik berkepanjangan setelahnya. Oleh sebab itu persyaratan yang lebih ketat dalam penentuan calon pejabat publik (kepala daerah) sebagai penyelenggara pemerintahan menjadi sangat strategis dalam proses rekrutmennya.
Dalam kaitannya dengan rekrutmen pejabat publik yang sedang dan akan terus-menerus berlangsung, maka sangat mendesak untuk mengubah paradigma penilaian kualitas SDM calon aktor publik (pasangan kepala daerah) tersebut, dari yang selama ini selalu menggunakan indikator “topeng” (gelar akademik, jabatan publik dan kekayaan) diganti dengan indikator “kinerja” atau trade record. Caranya dengan melihat kua­litas manusia secara hakiki dan lebih substantif, seperti hasil  karya, prestasi di masyarakat, sikap dan perilakunya selama ini. Apalagi dalam sistim perpolitikan saat ini yang telah membuka peluang adanya pemilihan pejabat publik secara langsung oleh rakyat (pemilihan presiden, gubernur, bupati, walikota dll), maka penilaian kualitas calon pejabat publik dengan indikator “kinerja” akan lebih tepat dibanding paradigma indikator “to­peng” yang selama ini telah dianut oleh masya­rakat.
Jika pengubahan paradigma ini dapat berlangsung dan berkembang di masyarakat maka sebagian besar problem sosial (bobroknya pranata kehidupan masyarakat) akan dapat teratasi. Misalnya akan berkurangnya kebiasaan-kebiasaan yang ada seperti: pemalsuan ijazah, menyuap masuk perguruan tinggi, kebiasaan nyontek di sekolahan, membocorkan soal ujian sekolah maupun tes pegawai, nyogok untuk naik jabatan, nyogok hakim agar bebas jeratan hukum, melanggar lalu lintas, kebiasaan suap atau nembak untuk mendapatkan SIM, money politics pada pemilihan pejabat publik dan sejenisnya. Terbukanya peluang akan menghilangkan atau atau paling tidak mampu mengurangi “budaya” culas akibat berkembangnya indikator “kinerja”, dan akhir muaranya adalah rakyat akan menjadi tidak “silau” lagi dengan gemerlapnya harta, jabatan maupun gelar akademik seseorang (karena ketiga indikator tersebut bukan lagi dianggap sebagai ukuran kualitas seseorang). Sebaliknya masyarakat akan menjadi kagum dan menaruh hormat tinggi kepada orang yang berprestasi (apalagi jika prestasinya setara peraih Nobel) dan berperilaku luhur dalam keseharian hidupnya, khususnya dalam domain urusan publik.
Perubahan paradigma ini dapat juga dikatakan sebagai “revolusi budaya” atau “revitalisasi”, yang akan lebih strategis jika dimulai dari tingkat warga berupa gelombang besar gerakan rakyat bersama-sama dari seluruh elemen, sehingga aktor rekayasa sosial yang selama ini dimonopoli penguasa, berubah menjadi rakyat sebagai pelaku utamanya (sebagai aktor kuncinya).




























3.4  Peran Partai Politik Perekrutan Pejabat Publik.
Karena semua pintu masuk jabatan publik, terutama di eksekutif dan legislatif, mesti melalui parpol. Oleh karenanya, parpol harus segera mengubah maindset dalam hal pencarian, perekrutan dan pengkaderan. Tidak bisa lagi dengan cara-cara instan seperti merekrut  publik figur semacam artis atau pengamat. Semua harus dimulai dari bawah. Untuk jabatan di legislatif pusat, misalnya, parpol seharusnya merekrut kader-kader partai yang sudah teruji sebelumnya di legislatif tingkat provinsi.
Demikian juga untuk penempatan calon anggota legislatif provinsi, parpol harus mengambilnya dari kader partai yang mumpuni dari legislatif level kota/kabupaten. Dengan kata lain, setiap kader partai yang akan diusung ke legislatif harus teruji dulu kemampuannya dari level di bawahnya.
Sistem seperti ini sudah diterapkan dalam liga sepakbola yang mengenal sistem promosi dan degradasi. Jika ada kader yang pro-rakyat selama menjabat di legislatif maka parpol wajib mempromosikannya ke level yang lebih tinggi. Demikian juga sebaliknya, kader yang hanya mementingkan dirinya sendiri dapat didegradasi ke level di bawahnya atau malah diberhentikan saja. Dengan mekanisme seperti ini, maka dengan sendirinya akan mengikis praktek money politic dalam perekrutan dan pencalonan di pemilihan legislatif. Kader partai yang diusung bukan lagi karena kemampuan finansial atau popularitas melainkan karena kecakapannya dalam memimpin. Sistem seperti ini juga akan mengubur koneksitas dalam berpolitik.
Cara seperti ini juga dapat diterapkan dalam pemilihan jabatan eksekutif seperti pemilihan presiden, gubernur, dan walikota/bupati. Mereka yang akan dimajukan partai harus tokoh yang memang sudah teruji di level sebelumnya. Misalnya, untuk jabatan presiden, partai dapat merekrut dari kader mereka yang berada di posisi gubernur. Begitu juga untuk jabatan gubernur, harus berasal dari kader yang berhasil di jabatan walikota atau bupati. Mengapa demikian? Karena cara seperti cukup ampuh untuk mengikis praktek koneksitas dan popularitas yang selama ini terjadi.
Jika metode perekrutan kader di atas diterapkan parpol kita, maka mendambakan munculnya partai modern bukan sesuatu yang mustahil. Partai tidak lagi diisi dan dikuasai oleh klik tertentu yang hanya mengandalkan koneksitas, popularitas dan modal. Namun, mereka yang menguasa parpol adalah orang-orang yang sudah teruji kepemimpinannya di basis. Jika ini terjadi, maka dengan sendirinya persoalan dinasti politik akan berkurang atau bahkan menghilang dengan sendirinya. Namun, jika parpol kita masih terikat dengan cara-cara tradisional, maka problema dinasti politik akan muncul setiap periodenya.
Kasus korupsi yang melibatkan banyak kader parpol merupakan dampak dari kelemahan sistem perekrutan kader oleh kebanyakan parpol kita. Yang dimunculkan adalah mereka yang memiliki popularitas, koneksitas dan modal mumpuni. Ini harus segera disadari dan ditindaklanjuti oleh parpol jika tidak ingin melihat sistem politik kita semakin semrawut. Bagaimanapun, keberadaan parpol adalah keniscayaan dalam sistem demokrasi yang kita anut.
Tanpa parpol maka negara akan dipimpin oleh kelompok otoriter yang tidak menginginkan demokratisasi tumbuh. Parpol adalah fondasi utama dalam membangun demokratisasi yang sudah kita mulai sejak lima belas tahun yang lalu. Namun sayangnya, untuk lima tahun ke depan, kita masih akan menyaksikan jabatan-jabatan politik diisi oleh mereka yang masih diragukan kualitasnya dalam memimpin. Mereka yang dicalonkan dalam pemilu legislatif tahun depan masih dikuasai oleh individu yang hanya mengandalkan koneksitas, popularitas dan modal.














BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
          Rekruitmen pejabat publik adalah suatu proses penyeleksian individu untuk diletakan pada peranan-peranan politik yang penting didalam suatu negara.Peranan-peranan penting ini bukan sembarang orang dapat mendudukinya karena orang-orang didalamnya menentukan maju-mundurnya suatu negara.Maka didalam rekruitmen politk haruslah benar-benar mencari orang-orang yang memiliki skill dan kapasitas yang mamksimal karena ia kan mengemban tugas yang menyangkut masadepan suatu negara.
Didalam rekruitmen pejabat publik tidak menutup kemungkinan para calon-calonya melakukan teknik-teknik yang curang seperti: perebutan kekuasaan dengan menggunakan atau mengancam dengan kekerasan, Petronag,dll.
Cara-cara curang inilah yang mestinya harus dihindari karena dapat menghancurkan negara. Apabila jabatan disalahgunakan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab dan tidak memiliki kemampuan untuk memimpin maka hancurlah masa depan suatu negara.

4.2 Saran-Saran
            Dari permasalahan di atas maka penulis dapat memberikan saran-saran sebagai berikut :
  1. Pemerintah selaku regulator untuk lebih memperketat proses rekrutmen anggota pejabat publik sehingga diharapkan pejabat publik yang terpilih lebih kredibilitas.
  2. Masyarakat harus bersikap kritis terhadap mekanisme dan kredibilitas anggota dewan agar terpilih pejabat publik yang sesuai dan pro terhadap masyarakat.
  3. Sebaiknya Partai politik seharusnya menseleksi melakukan ujian atau seleksi yang tepat sebelum menetapkan kader-kader  yang akan menjadi calon  pejabat publik agar dapat sesuai dengan kebutuhan negara dan pro terhadap rakyat.



DAFTAR PUSTAKA


Tidak ada komentar:

Posting Komentar